Senin, 25 Maret 2013

Tuan Black


“Nah, perempuan ini yang mencari-cari anda sejak kemarin Tuan,” kepala security menunjuk penampakan seorang perempuan berambut sebahu tengah berbicara dengan resepsionis saat rekaman CCTV itu diputar kembali di hadapan Tuan Black.

Tombol pause ditekan. Tuan Black melihat wajah perempuan itu lebih dekat.

Gawat. Ucap batinnya.

Bagaimana dia bisa menemukanku?

Wajahnya tiba-tiba memucat.

“Jadi apa yang harus kami lakukan Tuan?” tanyanya.

“Jangan biarkan dia menemui saya. Tangkap saja kalau perlu!” ia pergi meninggalkan ruangan.

***

Noura memasuki kantor lagi. Mencoba menerobos masuk penjagaan security.

“Mana Tuan Black?” tanyanya.

Dan dua security langsung menyergapnya. Tepat saat ia menatap ke arah dua mata Tuan Black yang tengah berjalan tergesa menuju lift di hadapan Noura.

Noura menggeliat berusaha lepas dari security. Sebelum pintu benar-benar tertutup, dia masih sempat berbalik dan berteriak, “Saya sudah mencari anda bertahun-tahun, Tuan Black. Tiga hari lalu saya melihat facebook anda dan menemukan kisah yang sama seperti yang selalu diceritakan Ibu saya.”

Semua mata memandang ke arah Noura, yang kini pasrah berjalan perlahan menuju pintu keluar. Melihat perut buncitnya, seorang ibu separuh baya bertanya hati-hati ke arahnya.

sumber foto: di sini

“Dia tak mau bertanggung jawab?” tebaknya.

Noura mengangguk perlahan.

“Lelaki memang selalu begitu. Tidak pernah memahami perempuan. Apa susahnya mengakui sesuatu yang telah dilakukannya. Bertanggung jawab pada perbuatannya.”

Noura mengangguk-angguk menyetujui ucapannya.

“Kamu dinikahi siri?” tanyanya.

“Hah?!” Noura menatap bingung ke arah si ibu sepuh. Yang langsung meralat ucapannya.

“Ooh maaf. Itu bukan urusan saya ya? Ya saya doakan semoga ia segera tersadar dan mengakui bayi dalam kandunganmu.”

Si ibu keburu pergi sebelum Noura menjelaskan detil perkara. Ia mengelus perutnya yang membuncit. Perut yang membuat si ibu berpikir kalau Noura istri simpanan Tuan Black.

Terduduk di depan kantor Tuan Black, Noura menarik keluar sebuah surat kabar terbitan 13 Agustus 2010. Wajah Tuan Black tanpa kacamata hitam tersenyum menatapnya. Sebuah tulisan besar tertera di sana.

Yayasan Amanah H. Ireng Subarkah. Investasi untuk menyejahterakan masyarakat.

Noura menarik napas panjang. Gegara iklan itu, ibunya menjadi korban penipuan berkedok investasi.

sumber gambar: di sini

-selesai-


Bandung, 18 Maret 2013

Dipersembahkan Untuk Monday Flash Fiction.

Baca juga remake-nya di sini ya.. :)

Ririn harus tahu


Roni menghempaskan lembaran itu ke lantai. Marni terdiam melihat Roni yang tampak gelisah.

“Tidak, jangan sekarang. Kasihan Ririn jika dia tahu tentang ini semua.” Ucap Roni pada dirinya sendiri.

Marni menatap lelaki di sampingnya.

“Jadi gimana sekarang, mas?”

Rony bergeming.

“Mas?”

“Tidak.. Aku nggak bisa. Aku nggak tega.”

“Tapi harus sampai kapan kita sembunyikan? Ini sudah terlalu lama. Dia juga sudah mulai cur…”

“Tidak!” potong Roni.

“Pokoknya tidak,” Roni pun berlalu.

***

Marni bisa saja mendesakku. Tapi mengatakan semuanya pada Ririn sama saja bunuh diri. Dia memang berhak tahu semuanya. Tapi nggak sekarang.

Aku belum siap.

Ririn masuk ke dalam kamar kami. Wajahnya berseri-seri. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran tentang lembaran sialan di tanganku, wajah sok tahu Marni dan segala pikiran buthek tentang semuanya.

Aku tersenyum menatap Ririn. Menyembunyikan lembaran itu di balik punggungku. Ririn bergelayut manja pada lengan kiriku.

“Mas.. aku punya kejutan” ia mengedip nakal.

Aku meraba-raba punggungnya. Entah mengapa aku berpikir ia baru saja membeli bra baru dan akan menunjukkannya padaku. Ririn pun menjerit geli.

“Aish.. Bukan itu mas. Tapi ini,” ia tersenyum sumringah menunjukkan sebatang test pack.

Dua garis merah.

testpack


Dua garis merah yang kami tunggu-tunggu selama delapan tahun terakhir. Akhirnya ada dua garis merah di test pack itu.

Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku bersuka ria. Tapi test pack itu hadir setelah aku membaca lembaran keparat itu. Lembaran yang menunjukkan kalau aku ini laki-laki infertil.

-selesai-

231/500

Bandung, 13 Maret 2013

#PromptChallenge #5

Tak pernah sama

boneka


“Ibu! Lihat! Aku bawa boneka untuk Risa!”

Ibu tersenyum kemudian berkata, “Lucu sekali. Mudah-mudahan Risa suka. Ibu antar ke kamarnya sekarang?”

Bayu mengangguk senang. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia mengekor di belakang ibunya, menemui Risa.

Ibu menyerahkan boneka itu kepada Risa yang tengah terbaring di atas tempat tidur. Kedua matanya sembab. Ia masih terlihat terpukul.

Menyadari kedatangan ibu dan Bayu, Risa memaksakan diri untuk duduk di atas pembaringan. Badannya ditegakkan. Melihat ibu membawa boneka bayi, Risa tampak terkejut. Kedua matanya menatap boneka itu dan Bayu bergantian. Pikirannya penuh tanda tanya.

“Apa ini?” tanyanya.

“Itu untukmu, Risa. Mudah-mudahan kamu nggak sedih lagi ya?” Bayu menjawab tulus. Tapi Risa terlihat murka. Air matanya tumpah seketika.

“Tapi ini boneka, mas! Ini boneka. Yang meninggal itu bayi kita. Anak kita. Semua nggak akan pernah sama lagi. Kamu nggak ngerti perasaan aku. Nggak ada yang ngerti.” Risa membenamkan wajahnya di atas bantal.

Menangis.

Bayu terdiam. Mencoba mencerna ucapan Risa, istrinya. Usianya memang 27 tahun, namun pemikirannya tak lebih dari seorang bocah lelaki berusia 9 tahun.

-selesai-

Bandung, 9 Maret 2013

Ide kedua #Promptchallenge #4

Boneka untuk Risa


Risa tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Di sampingnya Ibu memeras handuk kecil lalu meletakkannya di atas kening Risa. Disentuhnya pelan pipi kiri putri bungsunya. Panas sekali.
“Risa masih panas, Bu?” Bayu berjalan mendekati Ibunya. Ibu mengangguk. Wajahnya terlihat lesu.
“Risa mau apa? Nanti kakak carikan ya? Asal Risa cepet sembuh,” Bayu berbisik di samping adik kesayangannya. Risa masih terpejam. Damai dalam tidurnya.
***
boneka
“Ibu! Lihat! Aku bawa boneka untuk Risa!”
Ibu tersenyum kemudian berkata, “Lucu sekali. Mudah-mudahan Risa suka. Ibu antar ke kamarnya sekarang?”
Bayu mengangguk senang.
Ibu meletakkan boneka cantik itu di samping tubuh Risa, lalu berjalan keluar menemui anak sulungnya.
“Dapat dari mana bonekanya?”
“Dari uang tabungan Bayu, Bu.”
“Tapi kan kamu mau beli sepeda?”
Bayu menggeleng, “nggak pa pa Bu. Biar Risa cepet sembuh.”
Ibu menatap Bayu penuh kasih. Ia tahu Bayu menabung sedikit demi sedikit uang yang diperolehnya dari berjualan koran. Ah.. Seandainya kita hidup berkecukupan, mungkin Ibu sendiri yang akan membelikan Risa boneka. Tidak harus kamu, nak. Batinnya menjerit. Dipeluknya putra kesayangannya. Ia menangis penuh haru.
Risa sangat bahagia mendapatkan hadiah boneka dari kakaknya. Perlahan tapi pasti demamnya mulai berangsur turun. Ia sangat menyayangi bonekanya. Tak ada satu haripun yang dilewatkannya tanpa memeluk bonekanya. Mereka seakan tak dapat dipisahkan. Bayu tersenyum bahagia. Ia senang adiknya kembali ceria.
Namun sayangnya itu semua hanya berlangsung selama tiga hari saja. Karena di hari keempat demamnya kembali datang. Risa seringkali mengeluh nyeri di ulu hatinya dan tepat di malam ke lima, Risa terbatuk-batuk hebat dan memuntahkan darah kental.
Boneka itu terlepas dari dekapannya dan tak lama mereka pun harus mengikhlaskan gadis kecil itu pergi. Ibu dan Bayu kehilangan Risa untuk selamanya.
***
Bayu memandang kosong gundukan tanah merah yang masih basah di hadapannya. Di tempat peristirahatan terakhir Risa. Dipandangnya boneka cantik kesayangan adiknya, lalu diletakkannya boneka itu di samping nisan Risa. Ia berbisik lembut.
“Temani Risa di sini ya, boneka cantik,” pintanya.
Dan sedetik kemudian boneka itu berkedip kepadanya.
-selesai-
288/500 kata
Bandung, 7 Maret 2013
Teruntuk #PromptChallenge #4

Antara ada dan tiada


“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net gelagapan. Ia sendiri tidak tahu persis kapan kakak sulungnya hamil. Sudah hampir setahun belakangan ia tidak bertemu kakaknya. Kesibukan pekerjaan dan tinggal di kota yang berbeda dengan sang kakak memaksa Net hanya bisa pulang setahun sekali. Saat mudik lebaran. Meskipun demikian, jika sang kakak punya berita membahagiakan tentang kehamilannya, selain ibu dan bapaknya, tentunya ia yang pertama kali diberitahu.

Rim tampak terpukul. Pandangannya kosong. Di sampingnya Joko, suaminya memegang erat tangan belahan jiwanya. Lima anaknya yang masih berusia sekolah dasar berkejar-kejaran di sekitar mereka. Sepertinya tidak tahu kekalutan kedua orang tuanya.

Mbah Mis mendekati Joko, menjawil lengannya, meminta cucu tertuanya itu mendekat padanya. Melihat kondisi Rim yang memprihatinkan ia urung bertanya pada perempuan malang itu.

“Piye critane Le?” Mbah Mis bertanya tak sabar.

“Saya juga bingung, Mbah.. Tiga hari yang lalu Rim masih sehat. Sempat ikut saya ke kebun buat panen. Tapi kemarin malam dia mengeluh sakit perut. Mules. Saya kira karena kecapekan.. Tapi tiba-tiba perutnya membesar. Saya panik, langsung saya bawa ke bidan. Tapi nggak keburu. Rim tiba-tiba pendarahan hebat. Bu bidan bilang langsung saja dibawa ke dokter. Sampai di ugd, Rim langsung dirawat. Katanya dia mau melahirkan. Tapi detak jantung bayinya sudah melemah.. dan ternyata.. bayinya sudah meninggal. Meninggal di dalam kandungan,” Joko menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.

Mbah Mis dan Net saling bertatapan. Bingung dengan penjelasan Joko.

“Tapi mas Joko ndak tahu kalau mba Rim, hamil?”

Lelaki itu menggeleng.

“Kalau dia hamil, aku yang pertama tahu  tho Net?! Datang bulannya pun masih teratur,” jawab Joko.

Rim tiba-tiba hamil dan melahirkan? Net masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Ia mencubit lengannya sendiri.

Sakit.

Ini bukan mimpi.

***

“Ikut mama!” perempuan itu menarik lengan Andhara.

“Ouch! Sakit, ma.. Kita mau ke mana?” tanyanya.

“Menyelesaikan urusanmu. Nih, ganti baju dulu.”

Tak membutuhkan waktu lama, keduanya telah sampai di depan sebuah rumah antik bernuansa cokelat. Mama mengetuk pintu perlahan. Aroma dupa menyeruak di udara saat pintu itu menjeblak terbuka. Lelaki berjenggot putih mempersilakan mereka masuk. Mama menunjuk perut buncit Andhara, dan lelaki itu sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

Dua hari Andhara tinggal di rumah beraroma dupa itu. Dua hari ia tak sadarkan diri. Dan saat terbangun, ia telah berada kembali di dalam kamarnya. Sekujur tubuhnya terasa lelah. Meski demikian, pada saat yang bersamaan badannya terasa ringan.

Andhara mematut tubuhnya di depan cermin. Seakan ada yang terlewat dari ingatannya. Wajahnya masih sama, tubuh rampingnya juga masih sama seperti yang diingatnya. Namun ada yang satu hal yang seakan hilang dari kehidupannya.

“Ma, kemarin itu kita ke mana ya?” tanyanya pada mama yang tengah memegang ponsel birunya.

“Ooh.. Kamu baru pulang dari study tour sayang, lalu kamu mengalami cedera saat melakukan bungee jumping. Kepalamu terbentur, dan kamu tak sadarkan diri selama dua hari. Kenapa sayang?”

Andhara terdiam. Ia teringat mimpinya semalam. Menggendong seorang bayi yang tiba-tiba menghilang dari dekapannya. Tapi, bayi siapa itu? Tanya hati kecilnya.

Selepas Andhara masuk kembali ke kamarnya, mama menghubungi seseorang dari ponselnya.

“Mulai sekarang, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya, apalagi menemui anak saya Andhara. Mengerti? Saya tidak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Sampai kapanpun hubungan kalian tidak akan pernah berhasil!”

Didik menutup teleponnya. Ia kehilangan semuanya. Kekasihnya dan juga pekerjaannya.

Gambar dari sini

klik

-selesai-

Bandung, 20 Februari 2013

Masih, dipersembahkan untuk MFF GiveAway.

Repost dari rumah saya yang lain. Di sini.

Lelaki yang (tak) sempurna


Net meremas-remas kedua tangannya yang basah oleh keringat. Ia bingung sekali. Perlahan diulurkannya tangan untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya, namun belum sempat ia mengetuknya pintu itu telah menjeblak terbuka. Mbah Mis berdiri di hadapannya.

“Lho Nduk?! Tumben ke sini? Ayoo masuk,” tawarnya.

Net mengikuti perempuan separuh baya itu. Dan tak lama keduanya telah duduk saling berhadapan. Net duduk menyamping di atas tikar, kepalanya tertunduk, tak mampu menatap perempuan renta di hadapannya. Bagaimanapun, menyampaikan kabar duka tak akan pernah mudah bagi siapapun.

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net terdiam. Bingung harus mulai dari mana menceritakannya. Apa dimulai dari pernikahan Rim yang tidak dihadiri keluarga besar Sam, suaminya. Ataukah kenyataan kalau Sam ternyata sudah memiliki istri sebelum menikahi Rim? Lalu mungkin dilanjut kalau Rim sengaja menyembunyikan kehamilannya dari seluruh kerabatnya karena masalah dengan istri pertama Sam yang tak kunjung reda. Belum lagi kenyataan kalau Rim sering mendapat terror dari Par istri pertama Sam.

Dari mana ia harus memulainya? Dan Net tak kuasa berterus terang yang nantinya akan membuat Mbah Mis, simbah tercintanya -yang juga sekaligus pengganti kedua orang tua Net dan Rim-, akan sangat bersedih dan mungkin juga shock dengan kenyataan itu.

“Nduk?” suara Mbah Mis membuyarkan lamunannya.

“Piye critane, Nduk?”

“Nganu.. Rim keguguran Mbah,” Net berharap jawaban singkatnya cukup sebagai penjelasan. Dan mengecilkan kemungkinan pertanyaan tambahan dari simbah kesayangannya.


***

“Kamu serius mau menikah dengan Sam, Nduk?” Mbah Mis menatap tajam cucu kesayangannya. Yang ditanya hanya mampu mengangguk. Baginya menerima pinangan mas Sam adalah hal terindah dalam hidupnya. Siapa yang tidak mau menikah dengan lelaki tampan, berasal dari keluarga kaya dan selalu memberikan perhatian serta barang-barang yang indah? Rim mendambanya. Dan tak perlu berpikir dua kali maka Rim pun mengiyakan ajakan Sam untuk menikahinya.

Namun yang luput dari pikiran Rim adalah kemungkinan bahwa lelaki yang tampak sempurna itu telah ada yang memiliki. Ya, Sam ternyata telah beristrikan Par. Keputusannya menerima pinangan Sam justru membuat Rim tersiksa lahir dan batin. Pernikahan mereka lebih banyak diwarnai pertengkaran. Pertanyaan Rim tentang Par, jawaban menggantung Sam, dan terror sms yang diterimanya membuat Rim terpuruk dalam kesedihan. Hingga Rim mengabaikan kenyataan bahwa perutnya telah terisi janin buah cintanya dengan Sam. Segala keluhan yang dirasakannya hanya dianggapnya sebagai efek akibat stress dengan keadaan rumah tangganya. Hingga akhirnya Rim memeriksakan diri dan positif mengandung empat bulan.

Hari itu Sam pulang dengan wajah penuh amarah. Ia termakan kata-kata Par yang menuduh Rim mencakar wajahnya tanpa sebab, menghinanya mandul, dan melukai pelipisnya. Teriakan Sam terdengar menggelegar. Pintu di hadapannya dihantam dengan keras. Rim gelagapan. Ia bahkan belum sempat memberikan penjelasan untuk membela dirinya. Dengan kasar Sam menjambak rambut Rim penuh amarah, lalu mendorongnya dengan keras. Rim jatuh terkapar tak berdaya. Darah mengalir deras dari selangkangannya. Dan satu hal yang lagi-lagi luput dari pikiran Rim. Bahwa Sam yang tampak sempurna di matanya, ternyata suka menganiaya wanita.

-selesai-

Bandung, 18 Februari 2013

Teruntuk PromptChallenge Quiz Monday FlashFiction Giveaway.


sumber: di sini

mff

Bayi Rim


Net meremas-remas kedua tangannya yang basah oleh keringat. Ia bingung sekali. Perlahan diulurkannya tangan untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya, namun belum sempat ia mengetuknya pintu itu telah menjeblak terbuka. Mbah Mis berdiri di hadapannya.

“Lho Nduk?! Tumben ke sini? Ayoo masuk,” tawarnya.

Net mengikuti perempuan separuh baya itu. Dan tak lama keduanya telah duduk saling berhadapan. Net duduk menyamping di atas tikar, kepalanya tertunduk, tak mampu menatap perempuan renta di hadapannya. Bagaimanapun, menyampaikan kabar duka tak akan pernah mudah bagi siapapun.

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net terdiam. Bingung harus mulai dari mana menceritakannya. Ia tak kuasa berterus terang, khawatir jika nantinya akan membuat Mbah Mis, simbah tercintanya yang sekaligus pengganti kedua orang tua Net, akan sangat bersedih dan mungkin juga shock dengan kenyataan itu.

“Nduk?” suara Mbah Mis membuyarkan lamunannya.

“Piye critane, Nduk?”

Net terdiam. Teringat Rim dan tragedi yang baru saja dialaminya. Ia hanya mampu terisak. Tak kuasa membendung tangisnya, Net membenamkan wajahnya dalam pangkuan Mbah Mis.

Menangis.

***

Net dan Rim telah bersahabat bertahun-tahun. Sama sepertinya, sebelum bertemu dengan Mbah Mis, Rim hidup sebatangkara. Meski usia keduanya terbilang cukup jauh, persahabatan mereka seakan tak mampu terpisahkan. Net menyayangi Rim seperti adiknya sendiri. Mbah Mis pun mencintai keduanya.

Net membelai Rim dengan sayang. Sebelah tangannya menggenggam jemari Mbah Mis, meminta kekuatan. Mbah Mis dan Net hanya mampu terdiam, membelai Rim yang tertunduk dengan kepala berada dalam pangkuan Net. Mereka tahu Rim pasti sangat terpukul. Siapa yang tidak akan shock ketika bayi yang dicintainya, yang bahkan belum sempat membuka kedua matanya harus pergi selama-lamanya. Dan yang menyebabkan semua ini terjadi tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri. Suami Rim.

“Sabar ya Rim.. Sabar.. Anak-anakmu yang lain membutuhkanmu. Ken kecil sudah bahagia di sana.” Mbah Mis memberikan kekuatan.

Di depan gundukan tanah bertabur bunga mereka menangis. Melepas kepergian Ken, putra bungsu Rim. Masih teringat jelas dalam ingatan Net jerit pilu menyayat hati Rim saat Bams membawa Ken pergi dengan paksa tepat di hadapan Rim. Mereka saling mengejar hingga Ken yang malang pun akhirnya terjatuh. Diam tak bergerak.

credit

Dua jam setelah pemakaman Ken.

“Nduk, Rim di mana?” Mbah Mis bertanya pelan.

Net menarik tangan Mbah Mis perlahan, mengajaknya ke kamar samping. Dibukanya perlahan pintu kamar sambil mendekatkan jari telunjuknya ke depan bibir, berusaha tidak membuat kebisingan. Keduanya tersenyum haru. Tampak Rim tengah menyusui keempat anak-anaknya. Saudara kembar Ken. Rim menatap dua perempuan yang sangat mencintainya. Menatap keduanya penuh arti, berharap bisa mengatakan bahwa ia sangat mencintai Net dan Mbah Mis. Perlahan ia berjalan mendekat pada Net dan Mbah Mis.

“Iya Rim, kami juga sayang padamu. Itu kan yang mau kamu bilang?” Mbah Mis menatap Rim penuh arti. Rim pun mencium sayang tangan perempuan renta itu sambil berkata.

“miauu..”

-selesai-


Bandung, 17 Februari 2013

Tulisan ini diikutsertakan untuk Monday FlashFiction GiveAway.


561644_10151434955835489_276197941_a

Jumat, 22 Maret 2013

Telat!


KRIIIIING… KRIIING.. KRIIING..

Suara alarm jam wekerku berteriak histeris. Aku terkesiap. Entah hanya perasaanku saja ataukah memang dia sudah hopeless berbunyi membangunkan aku sejak tadi. Kulirik jam wekerku dan tetiba kantukku langsung menguap. Hari apa ini? Duuh.. Kenapa nggak ada yang bangunin?? Harusnya memang setelah sholat Subuh tadi, aku tidak tidur lagi. Aaargghh..! Dan seketika ingatan tentang kata-kata ayah semalam bergema di udara.

“Jangan sampai telat!”

Aku berlari tergesa ke kamar mandi. Mengguyur wajah dan tubuhku dengan kecepatan super. Lalu bersiap menuju tkp.

“Gawat!”

Aku melirik jam di tangan, sudah lewat 3 menit!  Kupercepat lariku, walaupun tahu bahwa itu hanyalah usaha sia-sia. Aku sudah telat!

“Tidak apa-apa,” kataku menenangkan hati.

Aku mulai memasuki ruangan dan mengetuk pintu. Seketika semua mata di dalam ruangan ini melihat ke arahku.

Kutarik napas panjang. Mencoba menenangkan diri. Tersenyum pada wajah-wajah yang menatapku nyaris tak berkedip. Mereka pasti telah lama menungguku.

Seorang laki-laki berpeci menatap tajam padaku, kedua matanya seolah mengirimkan sinyal agar aku mendekat. Semua terdiam. Maka akupun mendekat padanya. Duduk di hadapannya. Di tempat yang ditunjukkannya padaku.

“Bisa dimulai?” tanyanya. Dan hadirin pun memusatkan perhatian pada kami.

“Ikuti saya,” pintanya. Aku mengangguk. Tangannya menggenggam erat tanganku.

“Saya nikahkan kamu, saudara Bramantyo Adi Waseso bin Darmawan dengan Ananda Windi Harinawati binti Satrio Prakoso. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai.”

“Hah?!”

Suara-suara gumaman terdengar. Gumaman orang-orang yang kecewa. Harusnya aku merespon kalimatnya dengan segera. Penghulu di hadapanku menatapku tajam. Setajam belati. Dan kini suasana jadi runyam. Tak hanya orang di sekitarku yang tertarik dengan kegagalanku merespon kalimat ijab qabul. Tapi juga kerumunan di sisi kiri bagian masjid. Rupanya tanggal cantik membuat banyak manusia sepakat menjadikannya tanggal pernikahan. Kutarik napas panjang. Bagaimanapun ijab qabul itu perjanjian seumur hidup.

“Tenang! Tenang..! Tenang..!” Kita ulangi lagi.” Penghulu yang masih menggenggam erat tanganku pun berdeham dan menatapku tajam. Tanganku mulai basah oleh keringat. Aku tidak berkutik.

“SAYA NIKAHKAN KAMU, ANANDA BRAMANTYO ADI WASESO…” Penghulu itu berbicara lantang dan tegas. Kesabarannya seakan mulai menipis.

Aku tidak bisa berkonsentrasi. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Sebut saja aku lelaki pengecut. Tapi aku tidak siap dengan ini semua. Bulir-bulir keringat menetes di pelipisku. Aku tak bisa menarik tanganku. Penghulu itu terlalu kuat menggenggam tanganku. Somebody please help.. Batinku berteriak. Hingga sebuah suara menggelegar terdengar di udara.

“NAK BAYU..! DI SINI, NAK..!”

Itu suara ibunda Nalindri. Ya, NALINDRI. Tunanganku.

Semua mata menatap ke arahnya. Perempuan yang mengayunkan tangan mengajakku mendekat ke arahnya. Lalu kerumunan lelaki di sekitar memandang tajam ke arahku. Dan penghulu pun melepaskan genggaman tangannya padaku. Aku tersenyum pias.

“Maaf Pak, itu calon saya ternyata di sana.”

Wajah geram terlihat di kedua matanya. Bajuku basah kuyup, grogi bukan kepalang. Bahkan malam pertama juga belum dimulai. Batinku.

-selesai-



Bandung, 06 Februari 2013

Dipersembahkan untuk #PromptChallenge #3: Telat

Tas Putih


Sudah tiga hari ini ada yang berbeda dari diri Sri. Ia lebih sering terlihat diam. Tak nafsu makan, juga enggan becakap-cakap. Wajahnya juga seringkali ditekuk. Terkadang pandangannya menerawang. Seakan tubuh dan pikirannya tidak berada di tempat yang sama. Sri melirik jam dinding di ruang keluarga. Pukul 10 pagi. Segera ia bersiap lalu melaju dengan motor matic-nya. Pada sebuah butik mungil di sudut kota, ia memarkir motor pink-nya. Ada yang harus dilakukannya.

Sri menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang diemboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Pikirannya kacau.



Sri galau sekali. Apakah sebaiknya meraih tas putih cantik itu dan membawanya ke depan kasir lalu pulang dengan hati berbunga-bunga layaknya baru saja menerima lamaran Tono, suaminya sepuluh tahun silam ataukah meletakkan kembali tas itu di tempatnya dengan pikiran kalut akan berakhir di manakah tas cantik itu nantinya.

Apalagi tas itu hanya satu-satunya. Limited edition. Nggak akan ada yang ngembari. Dan Sri sangat mendambanya. Seperti ia mendamba untuk menimang anak laki-laki setelah dikaruniai empat orang anak perempuan. Tini, Tina, Anit dan Atin.

Sri berdiri mematung dan pikirannya kembali menerawang.

Kalau aku beli tas ini, lalu bagaimana dengan uang sekolah si kembar Atin dan Anit? Lalu apa kabar sepatu Tina dan buku diktat Tini?Dan diletakkannya kembali tas itu pada tempatnya. Memberikan jeda sesaat bagi dirinya untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Dan ia berjanji akan kembali lagi jika hatinya sudah bulat mantap tanpa sedikitpun keraguan. Baru saja Sri membalikkan tubuhnya, ia teringat akan uang arisan yang dimenangkannya seminggu lalu. Uang arisan yang dijanjikan akan cair besok pagi. Dan seperti baru saja mendapatkan durian runtuh, Sri pun bergegas meraih tas putih cantik impiannya.

Perempuan bersanggul tinggi di sampingnya ternyata memiliki keinginan yang sama dengannya. Sri menarik lebih keras tas itu ke arahnya, dan perempuan itupun melakukan hal yang sama.

Semua mata memandang ke arah mereka. Tak ada yang mengalah hingga sebuah suara terdengar di udara.

BUGH..!

Dan sebuah benda besar terjatuh di lantai. Jeritan menyayat hati bergema di butik mungil itu. Sri meninggalkan korbannya yang terkapar terkena bogem mentahnya.

***

Sri memarkir motornya di bawah pohon jambu samping rumah. Sebuah pertanyaan berkelebat di benaknya. Mas Tono sudah pulang? Jam berapa ini?

Lelaki itu tersenyum ke arahnya. Menghambur memeluknya.

“Selamat ulang tahun, sayang..”

Sri tersipu. Bahkan setelah sepuluh tahun pernikahan mereka Tono tetaplah jadi lelaki yang termanis. Ia meminta Sri menutup kedua matanya, lalu menuntunnya masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar tidur mereka, Sri membuka kedua matanya. Sebuah kado teronggok manis di hadapannya. Diletakkan di atas pembaringan mereka. Dengan cepat Sri membukanya. Tas cantik itu kini berada dalam pangkuannya. Tas putih sintetis yang berpadu dengan aksen sintetis berkulit ular. Tas cantik idamannya. Ia terkejut, menatap tas itu dan suaminya bergantian.

“Ini? Dari mana ini pak?”

“Kamu suka kan?” suaminya tersenyum penuh arti.

“Lagi banyak uang ya?” Sri menebak.

“Ah ndak. Lha wong itu dapet beli murah waktu Parmin juga mbelikan istrinya di Tanah Abang. Cantik ya? Aku sudah menduga kalau kamu pasti suka.”

Wajah Sri memerah. Dapet beli di Tanah Abang? Ia mengecek tas itu dengan seksama. Sama persis dengan tas yang ada di gantungan sepeda motornya di luar sana. Tas yang direbut paksanya dari perempuan bersanggul tinggi. Sri berdiri, mencium sekilas Tono yang menatapnya dengan tatapan heran, lalu berjalan tergesa menuju motornya. Ditariknya tas kardus yang masih tergantung di cantelan sepeda motornya. Lalu membawanya masuk ke dalam kamar, memastikan keduanya adalah barang yang sama. Tono mengikutinya tanpa bersuara. Mendapati dua buah tas yang sama kembarnya dengan Atin dan Anit tak ayal membuat Tono gusar.

“Lho dik? Tasnya kok..?”

Wajah Sri memerah. Kedua tangannya terkepal. Ia murka. Murka pada pemilik butik di sudut kota.

Limited edition?? Satu-satunya?! Dia harus mengembalikan uangku! Lihat saja!” Sri komat-kamit merapal mantra.

***
Berita kriminal sore. Seorang pemilik butik ditemukan jatuh tersungkur, pingsan kejatuhan mesin penghitung uang, di bawah meja kasir. Diduga ia diserang seseorang yang tak dikenal. Motif penyerangan belum diketahui. Perempuan bertinggi semampai itu ditemukan karyawannya dalam kondisi kepala tertutup tas sintetis berwarna putih. Pada beberapa bagian tas cantik itu terlihat aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Dan tas itu memang cantik sekali, pemirsa. Eh maksud kami, dugaan sementara, penyerang adalah pelanggan butik yang kecewa dengan kualitas tas tersebut. Kami masih menunggu keterangan pemilik butik yang terlihat shock setelah kejadian tersebut.

Sri menekan tombol OFF pada remote televisinya. Ia menyeringai lebar.

-selesai-


Bandung, 30 Januari 2013

Dipersembahkan untuk #PromptChallenge #2: Tentang Tas

G-String Merah

Dion memarkir mobilnya di bawah pohon mangga. Mengintip dari balik kaca mobilnya. Rumah no. 30. Ah pasti benar ini. Dilihatnya tulisan besar di depan rumah berpagar hitam itu: Diterima Kost Putra. ADA SATU KAMAR KOSONG.

Dion meraih ponselnya. Sebenarnya ia pernah datang ke tempat ini. Tapi waktu itu malam hari. Jadi untuk meminimalisir kesalahan, ia menghubungi Bara.

“Lu di mana? Gue udah di depan nih!” tulisnya.

“Oh ok. Elu langsung masuk kamar aja dulu ya. Gw masih mandi nih.”

Mehhh… Dion nyengir. Jaman sekarang. Mandi, hape juga dibawa. Watsapan sambil mandi. Dion terkekeh sendiri. Dia menuju kamar nomor dua di deretan kanan. Dibukanya pintu yang memang tak pernah terkunci, lalu masuk.

Kamar itu tak terlalu luas. Dipenuhi dengan barang-barang praktis. Dion menggelesot di lantai bersandarkan tempat tidur. Tapi tiba-tiba matanya tertarik pada sesuatu yang berwarna merah yang sedikit menyembul keluar dari bawah bantal. Penasaran, karena hampir tak ada baju setahu Dion yang berwarna merah di kamar ini, ditariknya benda berwarna merah itu.

Dion terkesiap. G-String? G-String warna merah?



Sekelebat pertanyaan memenuhi benaknya. Ini G-String siapa?

Bara keluar dari kamar mandi. Handuk biru dililitkan di pinggangnya, sementara tangan kanannya mengeringkan rambut dengan handuk kecil berwarna putih.

“Hei, sorry ya!” sapanya.

Dion menatap Bara nyaris tak berkedip. Kemarahan terlihat di wajahnya. Bara bertanya-tanya dalam hati. Dion kenapa ya?

“Apa-apaan ini?!” Dion mengangkat G-String merah itu dan menunjukkannya ke arah Bara.

“Itu..” Bara menggantung kalimatnya. Tetiba perasaan cemas meliputinya.

“Jangan bilang kalau kamu sudah berubah ya! Jangan bilang kalau kamu sekarang udah lurus. Udah suka sama perempuan!” serangnya.

“Bukan begitu.. Guee..”

“Gara-gara G-String merah ini kamu sembuh? Iyaa?!”

Bara tak mampu berkata-kata. Ia pasrah akan perlakuan Dion padanya. Tak ada lagi yang harus disembunyikannya.

Tetiba Dion menghambur memeluk Bara. Wajahnya terlihat bahagia.

“Alhamdulillah.. Gue seneng elu udah sembuh. Gue nggak harus nutup-nutupin dari papa lagi kalau elu suka sama laki-laki.”

Bara balas memeluk sang kakak. Ia tersenyum pias.



Ah.. Elu aja yang nggak tahu kak. Kalau G-String itu hadiah dari Alex buat gue. Katanya, buat variasi kalau kita lagi bermesraan. Ucap batin Bara.

-selesai-


Bandung, 23 Januari 2013

Dipersembahkan untuk #PromptChallenge #1: G-String Merah
repost dari blog saya di sini.