Rabu, 26 Juni 2013

Aku Maunya Kamu!

Aku membuka pintu depan yang tidak terkunci dan merebahkan diri di sofa. Aah.. lelahnya hari ini. Banyak laporan yang harus diselesaikan. Dengan mengingatnya saja, aku bisa melupakan rasa lelahku. Segera aku beranjak dari sofa, berjalan masuk menuju ke kamar, dan mengeluarkan laptop dari dalam tas kerjaku. Sebenarnya aku masih ingin merebahkan diri, tapi laporan ini harus selesai esok hari.

Aku baru saja meletakkan laptop pada meja kecil di sudut ruangan, menghubungkan kabel charger-nya dan menyalakan tombol kecil untuk mengaktifkannya. Tetiba terdengar suara gemerisik di belakangku. Sepasang mata indah muncul dari kegelapan. Ah ya, lampu di dalam kamar ini belum aku nyalakan. Meski demikian aku bisa dengan jelas menatap pancaran mata itu. Selama beberapa detik, mataku beradu pandang dengan matamu. Mata yang polos dan berbinar-binar. Wajah yang halus tanpa make up, ditambah bibir yang mungil tanpa polesan.

Wajahmu!
Ya.. wajahmu yang seharian ini membuyarkan konsentrasiku di kantor.

Hari ini kamu beda dari biasanya. Kau terlihat sangat menakjubkan. Badan halus mulusmu kali ini hanya berbalut kaos tanpa lengan dan celana pendek. Aah ya.. udara panas siang ini pasti menjadi alasanmu mengenakan pakaian itu.

Tenggorokanku terasa tercekat. Buru-buru  kualihkan pandanganku darimu. Aku nggak mau kamu membuyarkan kembali niatku mengerjakan laporan ini. Seperti memahami dilema dalam diriku, kamu hanya terdiam. Tak bersuara. Dan jujur saja, hal itu justru membuatku menjadi penasaran. Mengapa kamu hanya terdiam? Tidak seperti biasanya.

Kuarahkan pandanganku padamu dan mata kita kembali beradu pandang. Kau pun menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman maut yang melenakan! Aku mencoba mengalihkan pandangan dan menatap lurus pada layar monitor di hadapanku. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kamu bergerak perlahan mendekatiku. Harum khas dirimu terasa semakin mendekat dan tanganmu pun akhirnya menyentuh kulitku. Aku sungguh tak berdaya!

Aku kalah. Aku menyerah. Dan kulupakan segalanya. Tentang tetek bengek masalah laporan itu? Ah.. itu semua bisa menunggu. Tapi tidak tentangmu. Untuk kali ini aku tak dapat membohongi perasaanku. Ya, sekarang ini hanya satu yang terlintas di kepalaku.

Aku maunya kamu. Titik.

Segera saja kubalikkan tubuhku dan kurengkuh dirimu. Kucium pipimu, lehermu.. dan perutmu. Membaui seluruh bagian tubuhmu yang menggodaku. Dan gelak tawamu menandakan kalau kau menikmati semua itu. Hingga akhirnya aku mendengar suara.

“Sayang... kamu dimana?”

Suara istriku!!

Aku dan kamu sama-sama terdiam. Aku belum bisa berpikir jernih dan tiba-tiba saja pintu kamar menjeblak terbuka ... dan ia melihat kita...!

Suara istriku kembali terdengar.

“Ooh.. sayang.. ternyata dede sama papa ya..? Yuuk maem bubur dulu..”


Rabu, 10 April 2013

CERMIN

Aku berada di ruang ganti.

Sendirian menatap dua helai baju pesta yang tengah dipersiapkan untukku. Satu potong baju berwarna hijau tosca dan yang satu lagi berwarna biru tua. Dan kuputuskan untuk mengenakan gaun yang berwarna biru saja.
“Kamu cantik sekali, May..” sebuah pujian kudapatkan.
Aku tersenyum. Memandang tubuhku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Baju ini cantik sekali. Seakan sengaja dibuat dan dijahit hanya untukku.
Kutatap tampilan cermin yang memantulkan penampilanku secara utuh.
Sempurna.
KREEEEK.
Tetiba tirai disibak dengan paksa. Seorang lelaki menjambak kasar rambutku. Aku melawan, namun semuanya sia-sia. Ia menarik kasar lenganku. Aku jatuh terjerembab dan seketika tak sadarkan diri.
“Jangan khawatir May, aku akan mengambil alih semuanya.” Antara sadar dan tidak sebuah suara terdengar di kepalaku.
***
“Dia pembunuhnya, Pak!” seorang laki-laki mengacungkan jarinya menunjuk ke arahku.
Aku masih berada di dalam ruang ganti. Duduk terpekur di sudut ruangan. Kurasakan pening di sisi kepalaku yang tadi terbentur lantai. Kuarahkan pandangan ke sisi kanan. James terbujur kaku dengan posisi badan tertelungkup. Darah segar tergenang di sekitar tempatnya tergeletak.
Kurasakan jemariku terasa lengket dan bau anyir seketika menyerbak. Di tanganku penuh dengan noda darah. Darah yang sama dengan yang kulihat di tubuh James. Sebilah pisau tiba-tiba saja muncul dari balik gaunku. Aku terperanjat dan bangkit dari posisi dudukku, menatap langsung pada cermin di hadapanku. Kulihat tampilan wajah Sofia terpantul dari cermin di hadapanku. Menatapku sembari tersenyum.
“Aku melakukannya untukmu, Maya. Karena lelaki itu selalu saja menyakitimu,” bisiknya.
-selesai-


Senin, 25 Maret 2013

Tuan Black


“Nah, perempuan ini yang mencari-cari anda sejak kemarin Tuan,” kepala security menunjuk penampakan seorang perempuan berambut sebahu tengah berbicara dengan resepsionis saat rekaman CCTV itu diputar kembali di hadapan Tuan Black.

Tombol pause ditekan. Tuan Black melihat wajah perempuan itu lebih dekat.

Gawat. Ucap batinnya.

Bagaimana dia bisa menemukanku?

Wajahnya tiba-tiba memucat.

“Jadi apa yang harus kami lakukan Tuan?” tanyanya.

“Jangan biarkan dia menemui saya. Tangkap saja kalau perlu!” ia pergi meninggalkan ruangan.

***

Noura memasuki kantor lagi. Mencoba menerobos masuk penjagaan security.

“Mana Tuan Black?” tanyanya.

Dan dua security langsung menyergapnya. Tepat saat ia menatap ke arah dua mata Tuan Black yang tengah berjalan tergesa menuju lift di hadapan Noura.

Noura menggeliat berusaha lepas dari security. Sebelum pintu benar-benar tertutup, dia masih sempat berbalik dan berteriak, “Saya sudah mencari anda bertahun-tahun, Tuan Black. Tiga hari lalu saya melihat facebook anda dan menemukan kisah yang sama seperti yang selalu diceritakan Ibu saya.”

Semua mata memandang ke arah Noura, yang kini pasrah berjalan perlahan menuju pintu keluar. Melihat perut buncitnya, seorang ibu separuh baya bertanya hati-hati ke arahnya.

sumber foto: di sini

“Dia tak mau bertanggung jawab?” tebaknya.

Noura mengangguk perlahan.

“Lelaki memang selalu begitu. Tidak pernah memahami perempuan. Apa susahnya mengakui sesuatu yang telah dilakukannya. Bertanggung jawab pada perbuatannya.”

Noura mengangguk-angguk menyetujui ucapannya.

“Kamu dinikahi siri?” tanyanya.

“Hah?!” Noura menatap bingung ke arah si ibu sepuh. Yang langsung meralat ucapannya.

“Ooh maaf. Itu bukan urusan saya ya? Ya saya doakan semoga ia segera tersadar dan mengakui bayi dalam kandunganmu.”

Si ibu keburu pergi sebelum Noura menjelaskan detil perkara. Ia mengelus perutnya yang membuncit. Perut yang membuat si ibu berpikir kalau Noura istri simpanan Tuan Black.

Terduduk di depan kantor Tuan Black, Noura menarik keluar sebuah surat kabar terbitan 13 Agustus 2010. Wajah Tuan Black tanpa kacamata hitam tersenyum menatapnya. Sebuah tulisan besar tertera di sana.

Yayasan Amanah H. Ireng Subarkah. Investasi untuk menyejahterakan masyarakat.

Noura menarik napas panjang. Gegara iklan itu, ibunya menjadi korban penipuan berkedok investasi.

sumber gambar: di sini

-selesai-


Bandung, 18 Maret 2013

Dipersembahkan Untuk Monday Flash Fiction.

Baca juga remake-nya di sini ya.. :)

Ririn harus tahu


Roni menghempaskan lembaran itu ke lantai. Marni terdiam melihat Roni yang tampak gelisah.

“Tidak, jangan sekarang. Kasihan Ririn jika dia tahu tentang ini semua.” Ucap Roni pada dirinya sendiri.

Marni menatap lelaki di sampingnya.

“Jadi gimana sekarang, mas?”

Rony bergeming.

“Mas?”

“Tidak.. Aku nggak bisa. Aku nggak tega.”

“Tapi harus sampai kapan kita sembunyikan? Ini sudah terlalu lama. Dia juga sudah mulai cur…”

“Tidak!” potong Roni.

“Pokoknya tidak,” Roni pun berlalu.

***

Marni bisa saja mendesakku. Tapi mengatakan semuanya pada Ririn sama saja bunuh diri. Dia memang berhak tahu semuanya. Tapi nggak sekarang.

Aku belum siap.

Ririn masuk ke dalam kamar kami. Wajahnya berseri-seri. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran tentang lembaran sialan di tanganku, wajah sok tahu Marni dan segala pikiran buthek tentang semuanya.

Aku tersenyum menatap Ririn. Menyembunyikan lembaran itu di balik punggungku. Ririn bergelayut manja pada lengan kiriku.

“Mas.. aku punya kejutan” ia mengedip nakal.

Aku meraba-raba punggungnya. Entah mengapa aku berpikir ia baru saja membeli bra baru dan akan menunjukkannya padaku. Ririn pun menjerit geli.

“Aish.. Bukan itu mas. Tapi ini,” ia tersenyum sumringah menunjukkan sebatang test pack.

Dua garis merah.

testpack


Dua garis merah yang kami tunggu-tunggu selama delapan tahun terakhir. Akhirnya ada dua garis merah di test pack itu.

Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku bersuka ria. Tapi test pack itu hadir setelah aku membaca lembaran keparat itu. Lembaran yang menunjukkan kalau aku ini laki-laki infertil.

-selesai-

231/500

Bandung, 13 Maret 2013

#PromptChallenge #5

Tak pernah sama

boneka


“Ibu! Lihat! Aku bawa boneka untuk Risa!”

Ibu tersenyum kemudian berkata, “Lucu sekali. Mudah-mudahan Risa suka. Ibu antar ke kamarnya sekarang?”

Bayu mengangguk senang. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia mengekor di belakang ibunya, menemui Risa.

Ibu menyerahkan boneka itu kepada Risa yang tengah terbaring di atas tempat tidur. Kedua matanya sembab. Ia masih terlihat terpukul.

Menyadari kedatangan ibu dan Bayu, Risa memaksakan diri untuk duduk di atas pembaringan. Badannya ditegakkan. Melihat ibu membawa boneka bayi, Risa tampak terkejut. Kedua matanya menatap boneka itu dan Bayu bergantian. Pikirannya penuh tanda tanya.

“Apa ini?” tanyanya.

“Itu untukmu, Risa. Mudah-mudahan kamu nggak sedih lagi ya?” Bayu menjawab tulus. Tapi Risa terlihat murka. Air matanya tumpah seketika.

“Tapi ini boneka, mas! Ini boneka. Yang meninggal itu bayi kita. Anak kita. Semua nggak akan pernah sama lagi. Kamu nggak ngerti perasaan aku. Nggak ada yang ngerti.” Risa membenamkan wajahnya di atas bantal.

Menangis.

Bayu terdiam. Mencoba mencerna ucapan Risa, istrinya. Usianya memang 27 tahun, namun pemikirannya tak lebih dari seorang bocah lelaki berusia 9 tahun.

-selesai-

Bandung, 9 Maret 2013

Ide kedua #Promptchallenge #4

Boneka untuk Risa


Risa tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Di sampingnya Ibu memeras handuk kecil lalu meletakkannya di atas kening Risa. Disentuhnya pelan pipi kiri putri bungsunya. Panas sekali.
“Risa masih panas, Bu?” Bayu berjalan mendekati Ibunya. Ibu mengangguk. Wajahnya terlihat lesu.
“Risa mau apa? Nanti kakak carikan ya? Asal Risa cepet sembuh,” Bayu berbisik di samping adik kesayangannya. Risa masih terpejam. Damai dalam tidurnya.
***
boneka
“Ibu! Lihat! Aku bawa boneka untuk Risa!”
Ibu tersenyum kemudian berkata, “Lucu sekali. Mudah-mudahan Risa suka. Ibu antar ke kamarnya sekarang?”
Bayu mengangguk senang.
Ibu meletakkan boneka cantik itu di samping tubuh Risa, lalu berjalan keluar menemui anak sulungnya.
“Dapat dari mana bonekanya?”
“Dari uang tabungan Bayu, Bu.”
“Tapi kan kamu mau beli sepeda?”
Bayu menggeleng, “nggak pa pa Bu. Biar Risa cepet sembuh.”
Ibu menatap Bayu penuh kasih. Ia tahu Bayu menabung sedikit demi sedikit uang yang diperolehnya dari berjualan koran. Ah.. Seandainya kita hidup berkecukupan, mungkin Ibu sendiri yang akan membelikan Risa boneka. Tidak harus kamu, nak. Batinnya menjerit. Dipeluknya putra kesayangannya. Ia menangis penuh haru.
Risa sangat bahagia mendapatkan hadiah boneka dari kakaknya. Perlahan tapi pasti demamnya mulai berangsur turun. Ia sangat menyayangi bonekanya. Tak ada satu haripun yang dilewatkannya tanpa memeluk bonekanya. Mereka seakan tak dapat dipisahkan. Bayu tersenyum bahagia. Ia senang adiknya kembali ceria.
Namun sayangnya itu semua hanya berlangsung selama tiga hari saja. Karena di hari keempat demamnya kembali datang. Risa seringkali mengeluh nyeri di ulu hatinya dan tepat di malam ke lima, Risa terbatuk-batuk hebat dan memuntahkan darah kental.
Boneka itu terlepas dari dekapannya dan tak lama mereka pun harus mengikhlaskan gadis kecil itu pergi. Ibu dan Bayu kehilangan Risa untuk selamanya.
***
Bayu memandang kosong gundukan tanah merah yang masih basah di hadapannya. Di tempat peristirahatan terakhir Risa. Dipandangnya boneka cantik kesayangan adiknya, lalu diletakkannya boneka itu di samping nisan Risa. Ia berbisik lembut.
“Temani Risa di sini ya, boneka cantik,” pintanya.
Dan sedetik kemudian boneka itu berkedip kepadanya.
-selesai-
288/500 kata
Bandung, 7 Maret 2013
Teruntuk #PromptChallenge #4

Antara ada dan tiada


“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net gelagapan. Ia sendiri tidak tahu persis kapan kakak sulungnya hamil. Sudah hampir setahun belakangan ia tidak bertemu kakaknya. Kesibukan pekerjaan dan tinggal di kota yang berbeda dengan sang kakak memaksa Net hanya bisa pulang setahun sekali. Saat mudik lebaran. Meskipun demikian, jika sang kakak punya berita membahagiakan tentang kehamilannya, selain ibu dan bapaknya, tentunya ia yang pertama kali diberitahu.

Rim tampak terpukul. Pandangannya kosong. Di sampingnya Joko, suaminya memegang erat tangan belahan jiwanya. Lima anaknya yang masih berusia sekolah dasar berkejar-kejaran di sekitar mereka. Sepertinya tidak tahu kekalutan kedua orang tuanya.

Mbah Mis mendekati Joko, menjawil lengannya, meminta cucu tertuanya itu mendekat padanya. Melihat kondisi Rim yang memprihatinkan ia urung bertanya pada perempuan malang itu.

“Piye critane Le?” Mbah Mis bertanya tak sabar.

“Saya juga bingung, Mbah.. Tiga hari yang lalu Rim masih sehat. Sempat ikut saya ke kebun buat panen. Tapi kemarin malam dia mengeluh sakit perut. Mules. Saya kira karena kecapekan.. Tapi tiba-tiba perutnya membesar. Saya panik, langsung saya bawa ke bidan. Tapi nggak keburu. Rim tiba-tiba pendarahan hebat. Bu bidan bilang langsung saja dibawa ke dokter. Sampai di ugd, Rim langsung dirawat. Katanya dia mau melahirkan. Tapi detak jantung bayinya sudah melemah.. dan ternyata.. bayinya sudah meninggal. Meninggal di dalam kandungan,” Joko menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.

Mbah Mis dan Net saling bertatapan. Bingung dengan penjelasan Joko.

“Tapi mas Joko ndak tahu kalau mba Rim, hamil?”

Lelaki itu menggeleng.

“Kalau dia hamil, aku yang pertama tahu  tho Net?! Datang bulannya pun masih teratur,” jawab Joko.

Rim tiba-tiba hamil dan melahirkan? Net masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Ia mencubit lengannya sendiri.

Sakit.

Ini bukan mimpi.

***

“Ikut mama!” perempuan itu menarik lengan Andhara.

“Ouch! Sakit, ma.. Kita mau ke mana?” tanyanya.

“Menyelesaikan urusanmu. Nih, ganti baju dulu.”

Tak membutuhkan waktu lama, keduanya telah sampai di depan sebuah rumah antik bernuansa cokelat. Mama mengetuk pintu perlahan. Aroma dupa menyeruak di udara saat pintu itu menjeblak terbuka. Lelaki berjenggot putih mempersilakan mereka masuk. Mama menunjuk perut buncit Andhara, dan lelaki itu sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

Dua hari Andhara tinggal di rumah beraroma dupa itu. Dua hari ia tak sadarkan diri. Dan saat terbangun, ia telah berada kembali di dalam kamarnya. Sekujur tubuhnya terasa lelah. Meski demikian, pada saat yang bersamaan badannya terasa ringan.

Andhara mematut tubuhnya di depan cermin. Seakan ada yang terlewat dari ingatannya. Wajahnya masih sama, tubuh rampingnya juga masih sama seperti yang diingatnya. Namun ada yang satu hal yang seakan hilang dari kehidupannya.

“Ma, kemarin itu kita ke mana ya?” tanyanya pada mama yang tengah memegang ponsel birunya.

“Ooh.. Kamu baru pulang dari study tour sayang, lalu kamu mengalami cedera saat melakukan bungee jumping. Kepalamu terbentur, dan kamu tak sadarkan diri selama dua hari. Kenapa sayang?”

Andhara terdiam. Ia teringat mimpinya semalam. Menggendong seorang bayi yang tiba-tiba menghilang dari dekapannya. Tapi, bayi siapa itu? Tanya hati kecilnya.

Selepas Andhara masuk kembali ke kamarnya, mama menghubungi seseorang dari ponselnya.

“Mulai sekarang, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya, apalagi menemui anak saya Andhara. Mengerti? Saya tidak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Sampai kapanpun hubungan kalian tidak akan pernah berhasil!”

Didik menutup teleponnya. Ia kehilangan semuanya. Kekasihnya dan juga pekerjaannya.

Gambar dari sini

klik

-selesai-

Bandung, 20 Februari 2013

Masih, dipersembahkan untuk MFF GiveAway.

Repost dari rumah saya yang lain. Di sini.