Senin, 25 Maret 2013

Ririn harus tahu


Roni menghempaskan lembaran itu ke lantai. Marni terdiam melihat Roni yang tampak gelisah.

“Tidak, jangan sekarang. Kasihan Ririn jika dia tahu tentang ini semua.” Ucap Roni pada dirinya sendiri.

Marni menatap lelaki di sampingnya.

“Jadi gimana sekarang, mas?”

Rony bergeming.

“Mas?”

“Tidak.. Aku nggak bisa. Aku nggak tega.”

“Tapi harus sampai kapan kita sembunyikan? Ini sudah terlalu lama. Dia juga sudah mulai cur…”

“Tidak!” potong Roni.

“Pokoknya tidak,” Roni pun berlalu.

***

Marni bisa saja mendesakku. Tapi mengatakan semuanya pada Ririn sama saja bunuh diri. Dia memang berhak tahu semuanya. Tapi nggak sekarang.

Aku belum siap.

Ririn masuk ke dalam kamar kami. Wajahnya berseri-seri. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran tentang lembaran sialan di tanganku, wajah sok tahu Marni dan segala pikiran buthek tentang semuanya.

Aku tersenyum menatap Ririn. Menyembunyikan lembaran itu di balik punggungku. Ririn bergelayut manja pada lengan kiriku.

“Mas.. aku punya kejutan” ia mengedip nakal.

Aku meraba-raba punggungnya. Entah mengapa aku berpikir ia baru saja membeli bra baru dan akan menunjukkannya padaku. Ririn pun menjerit geli.

“Aish.. Bukan itu mas. Tapi ini,” ia tersenyum sumringah menunjukkan sebatang test pack.

Dua garis merah.

testpack


Dua garis merah yang kami tunggu-tunggu selama delapan tahun terakhir. Akhirnya ada dua garis merah di test pack itu.

Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku bersuka ria. Tapi test pack itu hadir setelah aku membaca lembaran keparat itu. Lembaran yang menunjukkan kalau aku ini laki-laki infertil.

-selesai-

231/500

Bandung, 13 Maret 2013

#PromptChallenge #5

0 komentar: