Senin, 25 Maret 2013

Antara ada dan tiada


“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net gelagapan. Ia sendiri tidak tahu persis kapan kakak sulungnya hamil. Sudah hampir setahun belakangan ia tidak bertemu kakaknya. Kesibukan pekerjaan dan tinggal di kota yang berbeda dengan sang kakak memaksa Net hanya bisa pulang setahun sekali. Saat mudik lebaran. Meskipun demikian, jika sang kakak punya berita membahagiakan tentang kehamilannya, selain ibu dan bapaknya, tentunya ia yang pertama kali diberitahu.

Rim tampak terpukul. Pandangannya kosong. Di sampingnya Joko, suaminya memegang erat tangan belahan jiwanya. Lima anaknya yang masih berusia sekolah dasar berkejar-kejaran di sekitar mereka. Sepertinya tidak tahu kekalutan kedua orang tuanya.

Mbah Mis mendekati Joko, menjawil lengannya, meminta cucu tertuanya itu mendekat padanya. Melihat kondisi Rim yang memprihatinkan ia urung bertanya pada perempuan malang itu.

“Piye critane Le?” Mbah Mis bertanya tak sabar.

“Saya juga bingung, Mbah.. Tiga hari yang lalu Rim masih sehat. Sempat ikut saya ke kebun buat panen. Tapi kemarin malam dia mengeluh sakit perut. Mules. Saya kira karena kecapekan.. Tapi tiba-tiba perutnya membesar. Saya panik, langsung saya bawa ke bidan. Tapi nggak keburu. Rim tiba-tiba pendarahan hebat. Bu bidan bilang langsung saja dibawa ke dokter. Sampai di ugd, Rim langsung dirawat. Katanya dia mau melahirkan. Tapi detak jantung bayinya sudah melemah.. dan ternyata.. bayinya sudah meninggal. Meninggal di dalam kandungan,” Joko menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.

Mbah Mis dan Net saling bertatapan. Bingung dengan penjelasan Joko.

“Tapi mas Joko ndak tahu kalau mba Rim, hamil?”

Lelaki itu menggeleng.

“Kalau dia hamil, aku yang pertama tahu  tho Net?! Datang bulannya pun masih teratur,” jawab Joko.

Rim tiba-tiba hamil dan melahirkan? Net masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Ia mencubit lengannya sendiri.

Sakit.

Ini bukan mimpi.

***

“Ikut mama!” perempuan itu menarik lengan Andhara.

“Ouch! Sakit, ma.. Kita mau ke mana?” tanyanya.

“Menyelesaikan urusanmu. Nih, ganti baju dulu.”

Tak membutuhkan waktu lama, keduanya telah sampai di depan sebuah rumah antik bernuansa cokelat. Mama mengetuk pintu perlahan. Aroma dupa menyeruak di udara saat pintu itu menjeblak terbuka. Lelaki berjenggot putih mempersilakan mereka masuk. Mama menunjuk perut buncit Andhara, dan lelaki itu sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

Dua hari Andhara tinggal di rumah beraroma dupa itu. Dua hari ia tak sadarkan diri. Dan saat terbangun, ia telah berada kembali di dalam kamarnya. Sekujur tubuhnya terasa lelah. Meski demikian, pada saat yang bersamaan badannya terasa ringan.

Andhara mematut tubuhnya di depan cermin. Seakan ada yang terlewat dari ingatannya. Wajahnya masih sama, tubuh rampingnya juga masih sama seperti yang diingatnya. Namun ada yang satu hal yang seakan hilang dari kehidupannya.

“Ma, kemarin itu kita ke mana ya?” tanyanya pada mama yang tengah memegang ponsel birunya.

“Ooh.. Kamu baru pulang dari study tour sayang, lalu kamu mengalami cedera saat melakukan bungee jumping. Kepalamu terbentur, dan kamu tak sadarkan diri selama dua hari. Kenapa sayang?”

Andhara terdiam. Ia teringat mimpinya semalam. Menggendong seorang bayi yang tiba-tiba menghilang dari dekapannya. Tapi, bayi siapa itu? Tanya hati kecilnya.

Selepas Andhara masuk kembali ke kamarnya, mama menghubungi seseorang dari ponselnya.

“Mulai sekarang, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya, apalagi menemui anak saya Andhara. Mengerti? Saya tidak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Sampai kapanpun hubungan kalian tidak akan pernah berhasil!”

Didik menutup teleponnya. Ia kehilangan semuanya. Kekasihnya dan juga pekerjaannya.

Gambar dari sini

klik

-selesai-

Bandung, 20 Februari 2013

Masih, dipersembahkan untuk MFF GiveAway.

Repost dari rumah saya yang lain. Di sini.

1 komentar:

HEPPY mengatakan...

Positif thinking