Jumat, 22 Maret 2013

Tas Putih


Sudah tiga hari ini ada yang berbeda dari diri Sri. Ia lebih sering terlihat diam. Tak nafsu makan, juga enggan becakap-cakap. Wajahnya juga seringkali ditekuk. Terkadang pandangannya menerawang. Seakan tubuh dan pikirannya tidak berada di tempat yang sama. Sri melirik jam dinding di ruang keluarga. Pukul 10 pagi. Segera ia bersiap lalu melaju dengan motor matic-nya. Pada sebuah butik mungil di sudut kota, ia memarkir motor pink-nya. Ada yang harus dilakukannya.

Sri menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang diemboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Pikirannya kacau.



Sri galau sekali. Apakah sebaiknya meraih tas putih cantik itu dan membawanya ke depan kasir lalu pulang dengan hati berbunga-bunga layaknya baru saja menerima lamaran Tono, suaminya sepuluh tahun silam ataukah meletakkan kembali tas itu di tempatnya dengan pikiran kalut akan berakhir di manakah tas cantik itu nantinya.

Apalagi tas itu hanya satu-satunya. Limited edition. Nggak akan ada yang ngembari. Dan Sri sangat mendambanya. Seperti ia mendamba untuk menimang anak laki-laki setelah dikaruniai empat orang anak perempuan. Tini, Tina, Anit dan Atin.

Sri berdiri mematung dan pikirannya kembali menerawang.

Kalau aku beli tas ini, lalu bagaimana dengan uang sekolah si kembar Atin dan Anit? Lalu apa kabar sepatu Tina dan buku diktat Tini?Dan diletakkannya kembali tas itu pada tempatnya. Memberikan jeda sesaat bagi dirinya untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Dan ia berjanji akan kembali lagi jika hatinya sudah bulat mantap tanpa sedikitpun keraguan. Baru saja Sri membalikkan tubuhnya, ia teringat akan uang arisan yang dimenangkannya seminggu lalu. Uang arisan yang dijanjikan akan cair besok pagi. Dan seperti baru saja mendapatkan durian runtuh, Sri pun bergegas meraih tas putih cantik impiannya.

Perempuan bersanggul tinggi di sampingnya ternyata memiliki keinginan yang sama dengannya. Sri menarik lebih keras tas itu ke arahnya, dan perempuan itupun melakukan hal yang sama.

Semua mata memandang ke arah mereka. Tak ada yang mengalah hingga sebuah suara terdengar di udara.

BUGH..!

Dan sebuah benda besar terjatuh di lantai. Jeritan menyayat hati bergema di butik mungil itu. Sri meninggalkan korbannya yang terkapar terkena bogem mentahnya.

***

Sri memarkir motornya di bawah pohon jambu samping rumah. Sebuah pertanyaan berkelebat di benaknya. Mas Tono sudah pulang? Jam berapa ini?

Lelaki itu tersenyum ke arahnya. Menghambur memeluknya.

“Selamat ulang tahun, sayang..”

Sri tersipu. Bahkan setelah sepuluh tahun pernikahan mereka Tono tetaplah jadi lelaki yang termanis. Ia meminta Sri menutup kedua matanya, lalu menuntunnya masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar tidur mereka, Sri membuka kedua matanya. Sebuah kado teronggok manis di hadapannya. Diletakkan di atas pembaringan mereka. Dengan cepat Sri membukanya. Tas cantik itu kini berada dalam pangkuannya. Tas putih sintetis yang berpadu dengan aksen sintetis berkulit ular. Tas cantik idamannya. Ia terkejut, menatap tas itu dan suaminya bergantian.

“Ini? Dari mana ini pak?”

“Kamu suka kan?” suaminya tersenyum penuh arti.

“Lagi banyak uang ya?” Sri menebak.

“Ah ndak. Lha wong itu dapet beli murah waktu Parmin juga mbelikan istrinya di Tanah Abang. Cantik ya? Aku sudah menduga kalau kamu pasti suka.”

Wajah Sri memerah. Dapet beli di Tanah Abang? Ia mengecek tas itu dengan seksama. Sama persis dengan tas yang ada di gantungan sepeda motornya di luar sana. Tas yang direbut paksanya dari perempuan bersanggul tinggi. Sri berdiri, mencium sekilas Tono yang menatapnya dengan tatapan heran, lalu berjalan tergesa menuju motornya. Ditariknya tas kardus yang masih tergantung di cantelan sepeda motornya. Lalu membawanya masuk ke dalam kamar, memastikan keduanya adalah barang yang sama. Tono mengikutinya tanpa bersuara. Mendapati dua buah tas yang sama kembarnya dengan Atin dan Anit tak ayal membuat Tono gusar.

“Lho dik? Tasnya kok..?”

Wajah Sri memerah. Kedua tangannya terkepal. Ia murka. Murka pada pemilik butik di sudut kota.

Limited edition?? Satu-satunya?! Dia harus mengembalikan uangku! Lihat saja!” Sri komat-kamit merapal mantra.

***
Berita kriminal sore. Seorang pemilik butik ditemukan jatuh tersungkur, pingsan kejatuhan mesin penghitung uang, di bawah meja kasir. Diduga ia diserang seseorang yang tak dikenal. Motif penyerangan belum diketahui. Perempuan bertinggi semampai itu ditemukan karyawannya dalam kondisi kepala tertutup tas sintetis berwarna putih. Pada beberapa bagian tas cantik itu terlihat aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Dan tas itu memang cantik sekali, pemirsa. Eh maksud kami, dugaan sementara, penyerang adalah pelanggan butik yang kecewa dengan kualitas tas tersebut. Kami masih menunggu keterangan pemilik butik yang terlihat shock setelah kejadian tersebut.

Sri menekan tombol OFF pada remote televisinya. Ia menyeringai lebar.

-selesai-


Bandung, 30 Januari 2013

Dipersembahkan untuk #PromptChallenge #2: Tentang Tas

0 komentar: