Jumat, 22 Maret 2013

Telat!


KRIIIIING… KRIIING.. KRIIING..

Suara alarm jam wekerku berteriak histeris. Aku terkesiap. Entah hanya perasaanku saja ataukah memang dia sudah hopeless berbunyi membangunkan aku sejak tadi. Kulirik jam wekerku dan tetiba kantukku langsung menguap. Hari apa ini? Duuh.. Kenapa nggak ada yang bangunin?? Harusnya memang setelah sholat Subuh tadi, aku tidak tidur lagi. Aaargghh..! Dan seketika ingatan tentang kata-kata ayah semalam bergema di udara.

“Jangan sampai telat!”

Aku berlari tergesa ke kamar mandi. Mengguyur wajah dan tubuhku dengan kecepatan super. Lalu bersiap menuju tkp.

“Gawat!”

Aku melirik jam di tangan, sudah lewat 3 menit!  Kupercepat lariku, walaupun tahu bahwa itu hanyalah usaha sia-sia. Aku sudah telat!

“Tidak apa-apa,” kataku menenangkan hati.

Aku mulai memasuki ruangan dan mengetuk pintu. Seketika semua mata di dalam ruangan ini melihat ke arahku.

Kutarik napas panjang. Mencoba menenangkan diri. Tersenyum pada wajah-wajah yang menatapku nyaris tak berkedip. Mereka pasti telah lama menungguku.

Seorang laki-laki berpeci menatap tajam padaku, kedua matanya seolah mengirimkan sinyal agar aku mendekat. Semua terdiam. Maka akupun mendekat padanya. Duduk di hadapannya. Di tempat yang ditunjukkannya padaku.

“Bisa dimulai?” tanyanya. Dan hadirin pun memusatkan perhatian pada kami.

“Ikuti saya,” pintanya. Aku mengangguk. Tangannya menggenggam erat tanganku.

“Saya nikahkan kamu, saudara Bramantyo Adi Waseso bin Darmawan dengan Ananda Windi Harinawati binti Satrio Prakoso. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai.”

“Hah?!”

Suara-suara gumaman terdengar. Gumaman orang-orang yang kecewa. Harusnya aku merespon kalimatnya dengan segera. Penghulu di hadapanku menatapku tajam. Setajam belati. Dan kini suasana jadi runyam. Tak hanya orang di sekitarku yang tertarik dengan kegagalanku merespon kalimat ijab qabul. Tapi juga kerumunan di sisi kiri bagian masjid. Rupanya tanggal cantik membuat banyak manusia sepakat menjadikannya tanggal pernikahan. Kutarik napas panjang. Bagaimanapun ijab qabul itu perjanjian seumur hidup.

“Tenang! Tenang..! Tenang..!” Kita ulangi lagi.” Penghulu yang masih menggenggam erat tanganku pun berdeham dan menatapku tajam. Tanganku mulai basah oleh keringat. Aku tidak berkutik.

“SAYA NIKAHKAN KAMU, ANANDA BRAMANTYO ADI WASESO…” Penghulu itu berbicara lantang dan tegas. Kesabarannya seakan mulai menipis.

Aku tidak bisa berkonsentrasi. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Sebut saja aku lelaki pengecut. Tapi aku tidak siap dengan ini semua. Bulir-bulir keringat menetes di pelipisku. Aku tak bisa menarik tanganku. Penghulu itu terlalu kuat menggenggam tanganku. Somebody please help.. Batinku berteriak. Hingga sebuah suara menggelegar terdengar di udara.

“NAK BAYU..! DI SINI, NAK..!”

Itu suara ibunda Nalindri. Ya, NALINDRI. Tunanganku.

Semua mata menatap ke arahnya. Perempuan yang mengayunkan tangan mengajakku mendekat ke arahnya. Lalu kerumunan lelaki di sekitar memandang tajam ke arahku. Dan penghulu pun melepaskan genggaman tangannya padaku. Aku tersenyum pias.

“Maaf Pak, itu calon saya ternyata di sana.”

Wajah geram terlihat di kedua matanya. Bajuku basah kuyup, grogi bukan kepalang. Bahkan malam pertama juga belum dimulai. Batinku.

-selesai-



Bandung, 06 Februari 2013

Dipersembahkan untuk #PromptChallenge #3: Telat

0 komentar: