Senin, 25 Maret 2013

Bayi Rim


Net meremas-remas kedua tangannya yang basah oleh keringat. Ia bingung sekali. Perlahan diulurkannya tangan untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya, namun belum sempat ia mengetuknya pintu itu telah menjeblak terbuka. Mbah Mis berdiri di hadapannya.

“Lho Nduk?! Tumben ke sini? Ayoo masuk,” tawarnya.

Net mengikuti perempuan separuh baya itu. Dan tak lama keduanya telah duduk saling berhadapan. Net duduk menyamping di atas tikar, kepalanya tertunduk, tak mampu menatap perempuan renta di hadapannya. Bagaimanapun, menyampaikan kabar duka tak akan pernah mudah bagi siapapun.

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Net terdiam. Bingung harus mulai dari mana menceritakannya. Ia tak kuasa berterus terang, khawatir jika nantinya akan membuat Mbah Mis, simbah tercintanya yang sekaligus pengganti kedua orang tua Net, akan sangat bersedih dan mungkin juga shock dengan kenyataan itu.

“Nduk?” suara Mbah Mis membuyarkan lamunannya.

“Piye critane, Nduk?”

Net terdiam. Teringat Rim dan tragedi yang baru saja dialaminya. Ia hanya mampu terisak. Tak kuasa membendung tangisnya, Net membenamkan wajahnya dalam pangkuan Mbah Mis.

Menangis.

***

Net dan Rim telah bersahabat bertahun-tahun. Sama sepertinya, sebelum bertemu dengan Mbah Mis, Rim hidup sebatangkara. Meski usia keduanya terbilang cukup jauh, persahabatan mereka seakan tak mampu terpisahkan. Net menyayangi Rim seperti adiknya sendiri. Mbah Mis pun mencintai keduanya.

Net membelai Rim dengan sayang. Sebelah tangannya menggenggam jemari Mbah Mis, meminta kekuatan. Mbah Mis dan Net hanya mampu terdiam, membelai Rim yang tertunduk dengan kepala berada dalam pangkuan Net. Mereka tahu Rim pasti sangat terpukul. Siapa yang tidak akan shock ketika bayi yang dicintainya, yang bahkan belum sempat membuka kedua matanya harus pergi selama-lamanya. Dan yang menyebabkan semua ini terjadi tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri. Suami Rim.

“Sabar ya Rim.. Sabar.. Anak-anakmu yang lain membutuhkanmu. Ken kecil sudah bahagia di sana.” Mbah Mis memberikan kekuatan.

Di depan gundukan tanah bertabur bunga mereka menangis. Melepas kepergian Ken, putra bungsu Rim. Masih teringat jelas dalam ingatan Net jerit pilu menyayat hati Rim saat Bams membawa Ken pergi dengan paksa tepat di hadapan Rim. Mereka saling mengejar hingga Ken yang malang pun akhirnya terjatuh. Diam tak bergerak.

credit

Dua jam setelah pemakaman Ken.

“Nduk, Rim di mana?” Mbah Mis bertanya pelan.

Net menarik tangan Mbah Mis perlahan, mengajaknya ke kamar samping. Dibukanya perlahan pintu kamar sambil mendekatkan jari telunjuknya ke depan bibir, berusaha tidak membuat kebisingan. Keduanya tersenyum haru. Tampak Rim tengah menyusui keempat anak-anaknya. Saudara kembar Ken. Rim menatap dua perempuan yang sangat mencintainya. Menatap keduanya penuh arti, berharap bisa mengatakan bahwa ia sangat mencintai Net dan Mbah Mis. Perlahan ia berjalan mendekat pada Net dan Mbah Mis.

“Iya Rim, kami juga sayang padamu. Itu kan yang mau kamu bilang?” Mbah Mis menatap Rim penuh arti. Rim pun mencium sayang tangan perempuan renta itu sambil berkata.

“miauu..”

-selesai-


Bandung, 17 Februari 2013

Tulisan ini diikutsertakan untuk Monday FlashFiction GiveAway.


561644_10151434955835489_276197941_a

0 komentar: